Bawang Putih dari Singapura
LUCU mendengar Indonesia mengimpor bawang putih dari Singapura. Volumenya memang tidak seberapa, hanya 55,8 ton dengan nilai US$24 ribu pada Februari lalu, sangat kecil dibandingkan impor bawang putih dari China sebesar 30.734 ton senilai US$22, 2 juta di bulan yang sama. Namun tetap saja menggelikan, mengingat Singapura merupakan negara kota yang nyaris tak punya lahan untuk pertanian. Semua lahan negara jiran itu sudah menjadi hutan beton karena dipenuhi bangunan dan gedung pencakar langit.
Maka, jangan heran kalau Menteri Pertanian Suswono juga bingung mengetahui data impor bawang putih dari Singapura itu sebagaimana dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). "Singapura memang tanam apa?" katanya heran. Bahkan Manteri Kordinator Perekonomian Hatta Rajasa melontarkan kebingungan disertai nada geram. "Ini sudah kelewatan, harus kita cegah," ungkap Hatta yang mencium ada peran broker sebagai pihak ketiga dalam impor bawang putih tesebut.
Selama ini para broker di Singapura memang mempunyai peran dominan dalam impor berbagai bahan pangan maupun nonpangan ke Indonesia. Mereka memanfaatkan posisi Negeri Singa sebagai hub-port atau pelabuhan transit bagi banyak komoditas dari berbagai negara sebelum masuk ke negara tujuan. Para importir Indonesia kerap menggunakan jasa mereka untuk memasukkan aneka komoditas ke negeri ini, termasuk bawang putih. Artinya, para importir nasional tidak meng-order langsung komoditas itu dari negeri asalnya, melainkan menggunakan jasa para broker tersebut sebagai pihak ketiga. Ada beberapa alasannya: mungkin importir di Indonesia tak punya akses ke negara produsen atau perusahaan broker di Singapura memang merupakan mata rantai bisnis para importir tersebut untuk mengeruk untung lebih besar.
Para broker pastilah mengambil fee atau komisi dari bawang putih yang mereka pasok kepada importir di Indonesia. Akibatnya, harga komoditas itu tentu menjadi lebih mahal di dalam negeri karena importir akan membebankannya pada harga jual di pasar domestik. Buktinya harga bawang putih sempat menjadi Rp80.000 per kilogram pertengahan tahun lalu, padahal normalnya sekira Rp15.000-Rp20.000 pe kilogram saja.
Karena itu wajar Menko Perekonomian Hatta Rajasa geram dengan "permainan" impor tersebut. Soalnya, cara impor demikian membebani masyarakat. Tetapi geram saja tentu tidak cukup, melainkan harus dibarengi upaya memutus mata rantai perdagangan yang dikuasai para broker Singapura tersebut.
Pemerintah melalui Menteri Perdagangan seyogianya bisa mengatur tata niaga komoditas itu supaya tidak menggunakan jasa para broker di Singapura sebagai pihak ketiga lagi. Para importir mesti diwajibkan mendatangkan langsung komoditas itu dari negara asalnya, seperti China atau Vietnam. Aturannya harus tegas, kalau dilanggar maka ada sanksi yang dijatuhkan kepada importir, baik berupa denda atau pencabutan izin impor. Cara ini akan membuat harga bawang putih bisa menjadi lebih murah di dalam negeri, selain kita tak perlu merasa lucu lagi karena sudah tak mengimpor komoditas itu dari Singapura.
Sumber : http://medanbisnisdaily.com