Pemetaan Struktur Pasar dan Pola Distribusi Komoditas Strategis Penyumbang Inflasi Sumatera Utara serta Implikasinya Terhadap Kebijakan Pengendalian Harga Komoditas

10 tahun yang lalu
Bagikan:

(Penelitian Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IX tahun 2011)

1. Latar Belakang

Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai tujuan tunggal yaitu mencapai dan menjaga kestabilan rupiah1. Kestabilan rupiah ini mengandung dua aspek yaitu kestabilan terhadap barang dan jasa serta kestabilan terhadap nilai mata uang Rupiah. Aspek pertama tercermin dari perkembangan laju inflasi dan aspek kedua tercermin dari nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing. Berpangkal dari tujuan tersebut, pengendalian inflasi merupakan hal yang mutlak.

 

Bank Indonesia memitigasi risiko atau faktor-faktor pembentuk atau pemicu tekanan inflasi dari demand side. Kendati demikian tidak dapat dipungkiri bahwa cosh push inflation lebih dominan dibandingkan demand pull inflation. Peningkatan harga seringkali tetap terjadi di tengah kondisi stok atau pasokan komoditas yang mencukupi bahkan melimpah. Banyak faktor distribusi dan pasar yang mempengaruhi hal tersebut. Rantai distribusi dari produsen hingga konsumen yang relatif panjang. Ditambah lagi panjangnya rantai distribusi tersebut tidak didukung dengan dukungan distribusi berupa infrastruktur yang memadai.

 

Kecenderungan inflasi di daerah termasuk di Sumatera Utara (Sumut) yang lebih dipicu dari sisi supply, mengisyaratkan bahwa inflasi daerah sulit dikendalikan dengan kebijakan moneter semata. Pembenahan pola distribusi dan sarana pendukung distribusi barang dan komoditas lebih berdaya guna untuk diterapkan sebagai upaya dalam pengendalian inflasi di Sumut. Di Sumut, setidaknya 36,79% dari total jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten/ kota dalam kondisi rusak atau rusak berat.

 

Tabel 1. 1 Kondisi Jalan Sumatera Utara

Status

Kondisi

Baik

Sedang

Rusak

Rusak Berat

Tidak Dirinci

Jalan Nasional

1,514.16

279.46

272.99

31.44

 

Jalan Provinsi

1,875.28

511.96

300.03

65.23

 

Jalan Kabupaten/ Kota

9,339.18

7,602.57

7,185.81

5,376.39

2,611.97

TOTAL

12,728.62

8,393.99

7,758.83

5,473.06

2,611.97

 

 

Padahal dukungan infrastruktur, khususnya ketersediaan jalan yang baik merupakan hal yang vital. Kebutuhan komoditas bahan makanan masyarakat Sumatera Utara banyak disuplai petani dari Kabupaten Karo. Ironisnya jalan yang harus dilalui mobil pengangkut dari Kabupaten Karo ke Kota Medan sebagian besar dalam kondisi rusak. Dalam perjalanannya, distribusi tidak hanya terkendala pada aspek yang bersifat struktural seperti kerusakan jalan, tetapi juga kondisi cuaca, biaya pengangkutan bahkan pungutan liar yang dapat saja muncul dalam proses distribusi.

 

Tidak hanya dari jalur distribusi yang perlu dibenahi, tata niaga komoditas temasuk didalamnya adalah supply chain management perlu menjadi perhatian khusus, mengingat struktur pasar komoditas tertentu seringkali terkonsentrai pada segelintir pelaku pasar. Mekanisme pasar permintaan dan penawaran, pembentukan harga, dan derajat pengambilan keputusan masing-masing pelaku pasar sangat menentukan harga akhir yang terbentuk di pasar.

 

Mengacu pada fenomena tersebut, perlu dilakukan kajian terhadap struktur pasar khususnya untuk komoditas strategis pengumbang inflasi daerah. Selain itu, perlu dilihat pula pola distribusi termasuk di dalamnya adalah jalur distribusi, biaya distribusi, dan hambatan distribusi serta perilaku pembentukan harga di tiap pelaku pasar yang ada dalam rantai distribusi komoditas strategis penyumbang inflasi.

2.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian Pemetaan Struktur Pasar dan Pola Distribusi Komoditas Strategis Penyumbang Inflasi Sumatera Utara serta Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalaian Harga Komoditas adalah sebagai berikut:

  1. Mengidentifikasi struktur pasar komoditas strategis penyumbang inflasi daerah.

  2. Mengidentifikasi pola distribusi, termasuk biaya dan hambatan distribusi  komoditas strategis penyumbang inflasi daerah.

  3. Mengetahui perilaku produsen, distributor dan pengecer dalam mekanisme pembentukan harga barang strategis penyumbang inflasi di daerah.

  4. Mengetahui implikasi struktur pasar dan pola distribusi komoditas strategis penyumbang inflasi daerah terhadap kebijakan pengendalian harganya di daerah.

3.Hasil Penelitian

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  1. Struktur pasar komoditas di sektor pertanian seperti beras, cabe merah, bawang merah, tomat sayur, dan jeruk pada hakikatnya tergolong Pasar Persaingan Sempurna. Kendatidemikian derajat pengambilan keputusan dan cara pembayaran oleh pelaku pasar menyebabkan komoditas pertanian tersebut bergeser menjadi peralihan pasar persaingan sempurna menjadi oligopoli.Struktur pasar komoditas perikanan seperti ikan dencis, ikan tongkol, ikan mas, dan ikan teri termasuk pasar persaingan sempurna.Struktur pasar komoditas peternakan seperti daging ayam ras, daging sapi, dan telur ayam ras tergolong oligopoli.Struktur pasar minyak goreng, gula pasir, dan semen termasuk peralihan oligopoli ke monopoli.

  2. Jalur ditribusi 15 komoditas strategis penyumbang inflasi Sumatera Utara yang disurvei memiliki rantai distribusi yang panjang. Untuk sampai ke tangan konsumen, komoditas tersebut melewati setidaknya 3 hinga 5 rantai distribusi atau pelaku pasar. Berdasarkan survei pemetaan struktur pasar dan pola distribusi juga diketahui bahwa tata niaga beberapa komoditas melibatkan pelaku pasar wilayah lain. Pedagang besar beras dan cabe merah di Sumut menjual sebagian berasnya ke pedagang grosir wilayah lain. Jalur distribusi komoditas bawang merah juga melalui pedagang pengecer provinsi lain. Senada dengan komoditas tersebut, komoditas ikan mas, daging ayam ras, daging sapi, telur ayam ras, minyak goreng, dan gula pasir dari wilayah Sumut sebagian didistribusikan ke pedagang wilayah lain.

  3. Faktor produksi atau biaya yang dikeluarkan produsen pertanian (petani) utamanya adalah untuk pembelian pupuk dan pembalian obat-obatan, selebihnya untuk pembelian bibit. Sementara itu, faktor produksi atau biaya yang dikeluarkan nelayan untuk melaut atau menangkap ikan lebih banyak tersedot untuk membeli bahan bakar kapal dan membeli es batu untuk menjaga kesegaran ikan. Sementara itu biaya yang dikeluarkan oleh peternak utamanya digunakan untuk pembelian pakan ternak, pembelian bibit, dan obat-obatan. Faktor biaya komoditas industri terutama adalah pembelian bahan baku dan biaya tenaga kerja.

  4. Responden menyatakan bahwa hambatan distribusi yang utama adalah cuaca buruk, selain kerusakan infrastruktur, dan pungutan liar dalam distribusi.

  5. Proses pembentukan harga banyak ditentukan oleh penjual tetapi ada pula yang merupakan hasil kesepakatan antara penjual dan pembeli.

  6. Penetapan harga jual dan margin oleh pelaku pasar khususnya produsen industri telah mempertimbangkan modal usaha berikutnya. Hal ini mengindikasikan bahwa penetapan harga jual dan margin telah mempertimbangkan harga ke depan atau ekspektasi inflasi yang forward looking.

  7. Pengaruh nilai tukar Rupiah terhadap Dollar tidak menjadi faktor penentu harga yang utama bagi sebagian besar pelaku pasar. Berdasarkan hasil survei hanya 20% produsen minyak goreng dan 7% pedagang grosir yang memperhatikan nilai tukar Rp terhadap Dollar dalam penentuan harga jual.

  8. Pengujian Pairwise Granger Causality Test menunjukkan bahwa harga di tingkat petani mempengaruhi harga di tingkat ritel atau pedagang pengecer.

  9. Pengujian Houck dengan pendekatan Asymetric Price Transmission mengindikasikan bahwa kenaikan atau penurunan harga komoditas beras, dan cabe merah di tingkat petani serta harga daging ayam ras di tingkat peternak, mempengaruhi kenaikan atau penurunan harga di tingkat ritel atau pedagang pengecer. Sementara itu, komoditas jeruk, daging sapi, dan telur ayam ras bersifat downward price rigidity, artinya kenaikan harga di tingkat produsen (petani atau peternak) diikuti atau mempengaruhi kenaikan harga di tingkat ritel atau pedagang pengecer. Sebaliknya, penurunan harga di tingkat produsen (petani atau peternak) tidak diikuti dengan penurunan harga di tingkat ritel atau pedagang pengecer.

4.Rekomendasi

  1. Kecenderungan inflasi di daerah termasuk di Sumut yang lebih dipicu dari sisi supply, mengisyaratkan bahwa inflasi daerah sulit dikendalikan dengan kebijakan moneter semata. Pembenahan pola distribusi dan sarana pendukung distribusi barang dan komoditas lebih berdaya guna untuk diterapkan sebagai upaya dalam pengendalian inflasi di Sumut.

  2. Guna menekan harga, tidak cukup hanya dilakukan efisiensi oleh produsen saja tetapi juga diperlukan peran serta supplier, perusahaan transportasi, dan jaringan distributor. Diperlukan supply chain management guna memastikan proses aliran barang atau komoditas dari hulu ke hilir berjalan efisien.

  3. Guna mengefisienkan jalur distribusi, perlu dilakukan peningkatan koordinasi yang lebih terstruktur dengan instansi terkait khususnya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berkaitan dengan infrastruktur jalan seperti Dinas Bina Marga dan Balai Besar Jalan Nasional yang ada di daerah. Dengan demikian, kondisi infrastruktur (jalan) yang rusak dapat diperbaiki dan dapat menjamin kelancaran distribusi komoditas dari daerah penghasil ke konsumen.

Meningkatkan efektivitas dan efisiensi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) baik TPID Sumut dan TPID Medan maupun koordinasi antar TPID wilayah lain. TPID juga dapat memfasilitasi atau menginisiasi informasi atau fasilitas yang dapat mendukung upaya pengendalian inflasi seperti:

     a. Penyediaan informasi yang akurat terkait harga dan stok

     b. Menyediakan buffer stock, khususnya untuk komoditas yang harganya sangat berfluktuasi.

     c. Mendorong percepatan pembangunan pasar induk yang dilengkapi dengan cold storage, sehingga buah dan sayur dapat bertahan lama. Pasar induk sekaligus dapat memperpendek rantai distribusi.