Pengelolaan Inflasi Perlu Diubah

10 tahun yang lalu
Bagikan:
Pengelolaan Inflasi Perlu Diubah

Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi berpendapat cara penanganan yang masih konvensional di tengah pertumbuhan struktur konsumsi masyarakat mewmbuat pengendalian inflasi di Indonesia lebih sulit dibandingkan dengan negara lain. permasalahan inflasi, khususnya akibat lonjakan harga pangan, tidak bisa lagi dipandang sebagai masalah supply  dan demand , katanya, Rabu (11/6).

menurutnya , proposal konsumsi pangan  olahan (processed  foods) di indonesia sudah semakin tinggi, melebihin volatile foods atau komoditas mentah. Permasalahannya, sistem pencatatan dan pengendalian inflasi  di Indonesia masih berbasis pada bahan pangan yang belum diolah.

sudah waktunya Badan Pusat Statistik (BPS) mulai fokus memonitor perkembangan harga direstoran, katering atau riel, karena semakin banyak orang yang menggunakannya.  Kita juga harus memperbanyak porsi monitoring inflasi  dari processed foods jangan hanya komoditi based, lanjut Bayu.

Dia memamparkan berdasarkan data otoritas perdagangan belanja pangan berbasis  komoditas mentah  di tingkat ritel tidak sampai 5%, sedangkan  belanja pangan olahan  mencapai lebih dari 17%  berdasarkan standar hidup  rata-rata di Indonesia.

bahkan orang termiskin  di desa sekalipun  mengonsumsi 25% dari high-processed foods, termasuk mie instan, jelasnya. Profesor studi pembangunan Emeritus  Harvard University Peter Timmer mengatakan pergeseran struktur ekonomi pangan di Indonesia di picu oleh perubahan preferensi masyarakat ke pangan olahan, tingginya urbanisasi, komersialisasi agribisnis, integrasi pasar, serta revolusi ritel dan rantai suplai.

Pada 2040, proposal belanja masyarakat perdesaan terhadap high processed foods diperkirakan mencapai 30,4% dari 22,7% pada 2010, sedangkan  di perkotaan mencapai 43,1% dari 34,1% pada sekitar  30 tahun yang lalu, tuturnya.

Selama ini, menurut Peter, masalah inflasi harga pangan di Indonesia  hanya dipandang sebagai fenomena moneter. Padahal, hal tersebut lebih dipengaruhi oleh kekuatan pasar dan struktur industrial. Di negara kaya, ekspektasi inflasi lebih didominasi oleh harga energi atau bahan bakar minyak. Sementara itu, di negara berkembang termasuk Indonesia, jangkar inflasi dilihat dari harga pangan.

Permasalahannya , problema harga pangan di Indonesia sering kali  lebih ditinjau sebagai  isu perdagangan atau  makro ekonomi. tidak hanya yang memandangnya  sebagai sebuah isu  agrikultur, lanjut Peter. Deputi Bidang Statistik Distribusi  dan Jasa BPS  Sasmito  Hadi Wibowo  justru menilai cara monitoring harga pangan dan dampaknya terhadap inflasi yang digunakan saat ini masih relevan.

Menurut dia, dalam survei harga pangan BPS memonitor 202 pasar tradisonal, 186 pasar modern, 13.000 departement store  atau mal, serta sektor swasta lainnya.

sementara itu, Kepala Divisi Inflasi Departemen  Riset  Ekonomi  dan Kebijakan Moneter  Bank Indonesia Arief Hartawan  menambahkan sebenarnya  cara pengendalian inflasi nonmoneter  telah dilakukan  di Indonesia, khususnya melalui Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Namun, Pengendalian Inflasi harga pangan di Indonesia masih terkendala oleh keterbatasan kapasitas produksi (supply side), gangguan distribusi dan infrastruktur  di Sumatera  dan Indonesia Timur, serta struktur pasar yang tidak efisien di jawa.

ASUMSI MAKRO
Secara terpisah, dalam rapat  kerja pembahasan Pokok-pokok kebijakan  Fiskal dan Asumsi  Makro  RAPBN-P 2014, Rabu (11/6), Pemerintah membuka peluang penetapan asumsi inflasi lebih tinggi hingga  7,3%  dalam APBN Perubahan  2014.

Peluang penetapan  asumsi inflasi yang cukup tinggi ini muncul setelah DPR mengingatkan akan adanya kebijakan penaikan tarif listrik secara bertahap untuk enam kelompok golangan pelanggan yang dilakukan setiap 2 bulan mulai 1 Juli, di samping gagasan menaikkan harga BBM. Dalam rapat kerja yang diikuti Pemerintah, Bank Indonesia, dan komisi XI DPR, disepakati asumsi Inflasi berada dalam rentang 5,3-7,3%, atau lebih dari usulan sumula dari pemerintah sebesar 5,5%.

Meskipun asumsi inflasi berada dalam rentang 5,3%-7,3%, Menteri Keuangan M. Chatib Basri menegaskan pemerintah akan tetap menjaga inflasi di level rendah dengan hanya memilih opsi mengurangi volume konsumsi BBM ketimbang menaikkan harga.

Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan  Chatib yakin inflasi mampu di tekan di level 5,5% sekalipun ada penaikan tarif listrik pada enam golongan pelanggan, termasuk perusahaan nonterbuka. Selain asumsi inflasi, pemerintah, BI, dan Komisi XI, juga menyepakati asumsi pertumbuhan ekonomi 5%-6%, suku bunga surat  perbendaharaan negara (SPN) 3 bulan 5,5%-6% dan nilai tukar rupiah Rp.11.000-Rp11.700 per dolar AS. Kesepakatan itu selanjutnya di bawa ketingkat Badan Anggaran DPR.