Penurunan Harga Cabai Merah Picu Deflasi
kembali mengalami deflasi pada Maret 2014 sebesar 0,24% atau turun dari Februari yang mencapai 0,69%. Penurunan harga cabai merah yang mencapai 30,09% menjadi penyumbang tertinggi deflasi.
Kepala Bidang Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut Bismark Saor Pardamean mengatakan, deflasi terjadi pada tiga kota indeks harga konsumen (IHK), yaitu Sibolga 0,57%, Medan 0,34%, dan Padangsidimpuan 0,05%. Sementara Kota Pematangsiantar mengalami inflasi 0,59%. “Penurunan harga cabai merah terjadi pada seluruh kota IHK.
Selain itu, stabilnya harga daging juga mendorong semakin rendahnya tingkat deflasi,” katanya kepada wartawan pada konferensi pers di Kantor BPS Sumut, Selasa (1/4). Selain cabai merah, persentase penurunan harga komoditas menjadi penyumbang deflasi juga dipengaruhi penurunan harga bawang merah 29,59%, tomat buah turun 20,99%, dan cabai rawit turun 15,68%.
Selain itu harga daging ayam ras turun 4,74%, ikan kembung turun 2,53%, serta tongkol turun 2,50%. “Ada juga penurunan harga telur ayam ras, cumi-cumi, udang, teri, dan kangkung, tapi tidak sebesar beberapa komoditas yang disebutkan tadi,” tuturnya. Deflasi pada Maret 2014 menyebabkan laju inflasi kumulatif, yaitu dari Januari-Maret 2014 di Sumut sebesar 0,16%.
Inflasi tertinggi terjadi di Pematangsiantar sebesar 0,95%. Sementara inflasi year on year (yoy), yaitu Maret 2014 terhadap Maret 2013 sebesar 7,69%, di mana inflasi tertinggi juga terjadi di Pematangsiantar sebesar 8,88%. “Tingginya inflasi di Pematangsiantar tidak hanya terjadi di Sumut, tetapi juga di Pulau Sumatera.
Dari 23 kota di Pulau Sumatera, tujuh kota mengalami inflasi. Yang tertinggi terjadi di Pematangsiantar dan terendah di Bengkulu sebesar 0,04%,” ujarnya. Ekonom Sumut, Gunawan Bonyamin mengatakan, deflasi yang kembali terjadi setelah hampir sepanjang tahun lalu mengalami inflasi tentu merupakan satu gejala positif.
Terlebih, sejauh ini deflasi yang terjadi lebih karena membaiknya sisi persediaan sehingga perekonomian daerah ini memiliki ruang ekspansi. Apalagi jika pertumbuhan ekonomi mampu ditingkatkan lebih signifikan lagi. Selain itu, tidak ada angka yang ideal mengenai berapa besaran laju tekanan inflasi maupun deflasi. “Yang paling baik adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya serta menekanlajuinflasiserendah- rendahnya.
Hal ini yang harus dilakukan apabila menginginkan pertumbuhan ekonomi dengan kualitas maksimal. Walaupun sulit diwujudkan, upaya-upaya mengarah ke sana harus terus diupayakan,” katanya. Jika hal tersebut tidak diupayakan, lanjut dia, deflasi bisa berdampak buruk. Deflasi yang terlalu dalam akan membuat masyarakat enggan membelanjakan uangnya sehingga menurunkan sisi permintaan dan berujung pada konsumsi yang melemah. “Perekonomian sulit digerakkan dengan deflasi yang memburuk seperti yang terjadi di Jepang,” katanya.
Sumber : http://ews.kemendag.go.id